EDARAN.ID – Starbucks menjadi pembicaraan publik beberapa pekan terakhir ini.
Pasalnya, kedai kopi asal Amerika Serikat (AS) itu masuk dalam daftar boikot.
Starbucks diboikot karena didiga terafiliasi dengan Israel, sehingga dikategorikan sebagai produk pro Israel.
Namun, dalam artikel ini bukan mengenai isu boikot yang akan dibahas, tapi mengenai ‘triliuner’ bernama Howard Schultz.
Howard merupakan mantan bos Starbucks, ia pernah menjabat sebagai CEO pada tahun 1987 hingga 2000.
Howard saat ini memiliki harta Rp 49 T, tapi siapa sangka, dia pernah menjadi loper koran.
Mantan bos jaringan kopi paling bergengsi ini ternyata berasal dari keluarga yang sederhana.
Bahkan Howard kecil tinggal di perumahan subsidi.
Ayahnya pernah menjadi sopir truk, buruh pabrik, hingga sopir taksi.
Melansir dari CNBC Make It, penghasilan ayah Howard kala itu pernah lebih dari US$ 20.000 per tahunnya.
Angka itu terbilang cukup rendah untuk hidup di negara AS.
Disisi lain, dia harus menghidupi ketiga anaknya, termasuk Howard.
“Keluarga kami tidak memiliki penghasilan, tidak ada asuransi kesehatan, tidak ada uang kompensasi,” tulis Howard Schultz dalam buku ‘Pour Your Heart Into It: How Starbucks Built a Company One Cup at a Time’.
Pada saat berusia 12 tahun, Howard harus bekerja untuk membantu kebutuhannya dan keluarga.
Termasuk kala itu ia rela menjadi loper koran. Tapi, dari hidup susah itulah mimpi Howard kecil tumbuh.
Usahanya tak sia-sia, Howard muda berhasil mendapatkan beasiswa berolahraga di Northern Michigan University.
Ia kemudian lulus sebagai sarjana komunikasi pada 1975 dan mulai menata kariernya.
Howard sempat bekerja sebagai sales dan marketing di Xerox selama tiga tahun setelah tamat kuliah.
Setelah itu, ia menjadi vice president and general manager di Hammarplast, sebuah perusahaan peralatan rumah tangga asal Swedia.
Di tahun 1981, barulah Howard Schultz mulai mengenal Starbucks.
Yang saat mengunjungi kedai pertama perusahaan di Seattle.
Saat itu dirinya jatuh cinta dengan secangkir kopi Sumatra yang disajikan di kedai Starbuck.
Kemudian pada 1982 ia bergabung dengan Starbucks sebagai direktur operasi dan marketing.
Saat itu Starbucks baru memiliki empat kedai kopi.
Howars memutuskan pergi ke Italia pada 1983 lantaran kagum dengan salah satu toko kopi di Milan yang menjadi tempat orang-orang bertemu dan berbagi waktu bersama di luar rumah dan kantor.
Pada saat itu juga, dia resmi meninggalkan Starbucks dan mulai merintis usaha kedainya II Giornale.
Berselang empat tahun atau pada 1987, dirinya pun mengambil alih Starbucks sebagai CEO.
Howard membeli kedai kopi itu dengan bantuan beberapa investor.
Di bawah kepemimpinannya, Starbucks menjadi perusahaan dengan pertumbuhan luar biasa.
Bahkan berkat kerja keras dan kepiawaiannya dalam memimpin perusahaan, hingga tahun 2000 Howard mampu menggandakan empat kedai Starbucks jadi 3.000 gerai di seluruh dunia.
Setelahnya jumlah gerai yang dimiliki perusahaan terus berganda hingga mencapai hampir 30.000 di seluruh dunia.***