Gerakan Boikot Produk Pro Israel Berdampak Besar, Kerugiannya Sudah Segini

Restoran sepeti McDonald's di makkah arab Saudi sepi Pengunjung.

EDARAN.ID – Gerakan boikot produk pro Israel ternyata memiliki dampak besar.

Gerakan boikot produk pro Israel ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, pun disuarakan masyarakat dunia.

Itu akibat serangan Israel ke Palestina yang dinilai sudah tidak berprikemanusiaan.

Sejumlah perusahaan besar saat ini mulai terdampak oleh gerakan boikot itu.

Meskipun belum ada laporan nilai kerugian terbaru yang diderita Israel, laporan Al Jazeera pada 2018 lalu menyatakan, jika gerakan boikot berpotensi menimbulkan kerugian hingga US$11,5 miliar atau sekitar Rp180,48 triliun.

BACA JUGA:  Pizza Hut Dilanda Boikot Produk Terafiliasi dengan Israel, Benarkah?

Dalam beberapa waktu terakhir, misi prioritas diplomatik Israel adalah penanggulangan gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).

Bahkan, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah bertindak untuk melarang kelompok-kelompok yang mendukung gerakan boikot.

Menurut dia, ribuan orang di Israel akan berpotensi kehilangan pekerjaan jika negara mereka diboikot secara penuh oleh internasional.

Dilansir dari The Jerusalem Post, Israel membantah bahwa gerakan boikot dapat merugikan mereka.

Justru, mereka menyebutkan jika hal itu hanya akan “menambah penderitaan rakyat Palestina, bukan menguranginya.”

Organisasi non-profit berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), Brookings Institution, menyatakan bahwa gerakan BDS tidak akan secara drastis mempengaruhi perekonomian Israel.

Itu karena sekitar 40 persen ekspor Israel adalah barang “intermediet”.

Intermediet adalah produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, seperti semikonduktor.

BACA JUGA:  Tidak Masuk Daftar Boikot Produk Pro Israel, Minyak Goreng Bimoli Ternyata Singkatan Nama Kota di Sultra

Selain itu, sekitar 50 persen dari ekspor Israel adalah barang “diferensiasi” atau barang yang tidak dapat digantikan, seperti chip komputer khusus.

Namun, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekspor barang-barang “intermediet” mengalami penurunan tajam dari 2014 hingga 2016.

Itu berdampak dengan kerugian sekitar US$6 miliar atau sekitar Rp94,16 triliun.***

 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Pos terkait